Tentang puisi, Kahlil Gibran, penyair Lebanon dari Gereja Katolik Maronit mengatakan, “Puisi bukanlah pendapat yang diungkapkan. Puisi adalah lagu yang muncul dari luka yang berdarah atau bibir yang tersenyum.”
Dan benar! Puisi-puisi dalam buku ini adalah ungkapan hati dan jiwa para penulis tentang getaran cinta, kagum, hormat, takzim kepada Bunda Maria, yang tentu saja lahir dari pengalaman pribadi mereka dengan Sang Bunda.
Dalam buku ini tersua 83 buah puisi karya putra-putri Maria dari berbagai tempat. Terdapat nama-nama besar yang tidak asing lagi seperti Joko Pinurbo, F. Rahardi, Romo Mudji Surisno SJ, Romo Mangun Widjaya, Eka Budianta, Yosef Yapi Taum, Agust Dapa Loka dan lain-lain dengan karya-karya terbaik mereka.
Mereka berusaha menggali kekayaan batin mereka, mengeraminya lalu menuangkan dalam rangkaian kata-kata yang tak ubahnya ratna mutu manikam.
Dari diksi-diksi yang mereka pakai, sangat jelas bahwa mereka adalah pencinta Bunda Maria, Bunda Allah, dan Bunda Segala Bangsa itu.
Joko Pinurbo dengan puisi Pieta menunjukkan apresiasinya yang sangat tinggi kepada alit Ambara yang selama berbulan-bulan berjuang menyelamatkan korban Covid-19. Mereka seakan melupakan keselamatan diri sendiri.
Jokpin, sapaan Joko Pinurbo menulis: Dirawatnya kesakitan demi kesakitan, kematian demi kematian. Diusapnya wajah-wajah yang cemas dengan ujung kerudungnya.
Untaian kata-kata ini hasil refleksi Jokpin atas kesetiaan Bunda Maria dalam menjalani perjalanan kehidupannya yang sangat tidak ringan.
Romo Mangun (alm) menulis puisi yang sangat bertenaga berjudul Sarah Balabagan, yang dia ambil dari nama seorang wanita Philipina yang hampir dihukum mati karena membunuh majikan yang hendak melakukan kekerasan seksual kepadanya. Dalam puisinya, Romo Mangun meminta kepada Bunda Maria untuk melindungi wanita muda itu.
Romo Mangun menulis: Dia seumur, kau Miriam, waktu Isa Sang Terjunjung di rahimmu minta perlindungan. Tolonglah dia, Sarah Balabagan, Muslimah saleh yang kulihat di TV sempoyongan, dikawal polisi berkumis jenggot lelaki, tapi mata sepasang memandang berani, lurus ke publik tanpa minder karena penuh yakin, karena membela suci wanitanya
Seperti dikatakan editor dalam Catatan Editor, buku ini selain untuk menyatakan cinta dan hormat kepada Bunda Maria, juga untuk mengajak sebanyak mungkin orang (makin) mencintai Bunda Maria dan “Maria-Maria” lain di sekitar kehidupan mereka.
Menurut editor yang sering menyebut diri sebagai “penyair kambuhan” ini, orang Katolik yang dikenal sangat menaruh hormat kepada Bunda Maria—sehingga kadang-kadang disalahpahami “menyembah Bunda Maria”—seharusnya selalu berada di depan untuk menunjukkan contoh dalam menghormati perempuan.
Jika mereka juga masih menyakiti atau malah melecehkan perempuan, mereka harus betul-betul mengoreksi diri.
Dengan kata lain, jangan mengatakan mencintai Bunda Maria yang adalah perempuan jika masih menyakiti perempuan secara semena-mena.
Sesungguhnya, alasan paling kuat yang mendasari penerbitan buku ini adalah agar semakin banyak orang mencintai dan menghormati Bunda Maria.
Dia adalah bunda yang selalu menyertai perjuangan setiap putra-putrinya dengan doa-doanya.
Serentak dengan itu, saya sangat berharap, bertambah banyak pula orang yang semakin mencintai ibu mereka.
Orang Katolik yang mencintai Bunda Maria haruslah benar-benar mencintai Ibu dan kaum perempuan di sekitar kehidupan mereka.
Dalam Kata Pengantarnya, Romo Al. Andang Binawan SJ menyebut puisi-puisi dalam buku setebal 178 halaman ini sebagai rajutan kata-kata pengungkap rangkuman pengalaman iman penulisnya yang bisa dibaca dalam hening, dan membantu membuka jiwa.
“Memang, fokusnya Maria, sebab dari Maria-lah kita belajar membuka jiwa, agar mampu melaksanakan kehendak Allah Bapa,” tulis Romo Andang.
Selamat membaca dan semakin mencintai Bunda Maria dan “Maria-Maria” lain dalam kehidupan kita. Jika ingin memiliki buku ini, silakan menghubungi penerbit 085797437111. (tD/*)