Zainal Abidin Tjan, Perjuangan Spartan dan Mukjizat-mukjizat yang Menyertai

JUDUL BUKU: Zainal Abidin Tjan, Kisah Juang Sopir, Porter dan Tukang Roti Menjadi Pengusaha Hotel – 84 Tahun Perjalanan Dari Babo Hingga Wamena I PENULIS: Gusty Masan Raya, dkk I PENERBIT: Altheras Publishing (2025) I TEBAL BUKU: 272 halaman

______________________________________

Buku ini tentang perjalanan hidup seorang anak manusia bernama Zainal Abidin Tjan yang tumbuh dari luka dan kepahitan, tetapi kemudian memancarkan terang bagi generasi sesudahnya.

Ia lahir dari rahim sejarah yang getir: sang ayah, seorang bestuur di zaman Hindia Belanda, lebih sering absen dalam hidupnya karena penjara dan persimpangan nasib. Sementara ibunya memanggul beban hidup seorang diri, menggiring anak-anaknya melintasi Sorong, Makassar, hingga Jakarta, di tengah kesulitan yang seakan tak pernah selesai.

Sejak kecil, Abidin tidak menikmati kemewahan pendidikan. Ia berhenti di kelas VI SD, bukan karena kemalasan, melainkan karena penglihatannya rusak akibat terlalu sering berduel tinju—sebuah pelarian khas bocah yang tumbuh tanpa banyak pegangan.

Buta huruf bukan kehendaknya, namun keterbatasan tidak pernah membuatnya berhenti berjuang. Di Makassar, ia pernah tinggal sebagai anak numpang, menjalani hidup sebagai jongos, mencuci piring, membuat kue, apa saja demi sebungkus makanan dan sepetak ruang untuk tetap bertahan.

Takdir membawanya berpindah-pindah, tetapi kasih seorang ibu justru menjadi kompas yang menuntunnya pulang.

Tatkala Maryam menjemputnya, ia kembali ke Papua—ke Jayapura—tempat para saudaranya mulai menata hidup.

Di tanah itu, Abidin kembali belajar dari nol. Ia menjadi montir, sopir, tukang kue; bahkan menyertai sang kakak berburu buaya di pedalaman.

Semua pekerjaan digenggamnya, bukan sekadar demi rezeki, tetapi sebagai cara untuk bertahan, memahami dunia, dan mencicil masa depan yang belum ia tahu bentuknya.

Titik Balik

Titik balik hidupnya datang pada 1970-an. Dengan keberanian yang tak semua orang bisa pahami, ia meninggalkan Sentani dan menuju Wamena, tempat ia diterima PT Celco sebagai sopir truk untuk pembangunan hotel.

Di balik setir itulah wataknya ditempa oleh kerja keras dan kejujuran. Setelah hotel rampung, Bupati Adreas Karma mempercayakannya menjadi pengelola—kepercayaan yang di kemudian hari menjadi benih bagi mimpi besar: memiliki hotel sendiri.

Pada 6 Januari 1976, Abidin memasuki babak baru hidupnya bersama Vonny Elisabeth Kawengian, gadis Manado yang menjadi sahabat sekaligus pilar hatinya.

Namun pernikahan tidak langsung menghadiahinya kemudahan. Fitnah, pertikaian kecil, dan kesalahpahaman membuatnya keluar masuk Baliem Cottage hingga tiga kali.

Pernah pula, di saat anak pertamanya masih merah, keluarga kecil itu nyaris kelaparan setelah Abidin memutuskan berhenti dari pekerjaannya. Tetapi kesempitan itu hanya membuat tekadnya mengeras.

Perlahan-lahan nasib mulai membuka pintu. Abidin bekerja sebagai porter bandara, berkenalan dengan banyak orang penting, ikut menggarap proyek pemerintah di pedalaman, membuka usaha fotokopi, hingga akhirnya—dengan keberanian yang tak semua orang berani pikul—menerima tawaran pimpinan BRI Wamena untuk membeli hotel secara kredit. Dari situlah roda hidupnya berubah.

Pada 1991, Hotel Baliem resmi berdiri. Hanya sembilan kamar saat itu, namun seiring waktu tumbuh menjadi 83 kamar. Di bawah payung Pilamo Grup, ia membangun bukan hanya hotel, tetapi jaringan usaha yang mencerminkan ketekunan bertahun-tahun: bakery, tempat fotokopi, salon, futsal, biliar, kafe di Jayapura, Sentani, dan Wamena, hingga konstruksi lewat PT Cahaya Bina Karya.

Semuanya tumbuh dari tangan lelaki yang dulu tak tamat SD, pernah buta huruf, dan pernah kelaparan.

Kini, ketika usianya mendekati 84 tahun pada Februari 2026, Abidin tetap berdiri tegak. Ia masih menyusuri unit-unit usahanya, menegur dengan lembut, memberi teladan, mengajarkan etos kerja kepada anak-anak dan karyawannya. Energinya seakan tak habis, seperti sungai besar yang tetap mengalir meski dihantam musim.

Kisah Abidin bukan sekadar cerita sukses seorang perantau atau pengusaha. Ini adalah kesaksian tentang ketabahan manusia yang tak menyerah pada nasib. Ia membuktikan bahwa keterbatasan bukan hukuman, melainkan undangan untuk melampaui diri.

Ia menjadi cermin bagi banyak anak Papua dan Indonesia: bahwa keberhasilan bukan soal kemujuran, tetapi soal keberanian untuk bangkit lagi setiap kali jatuh.

Dalam hidup Abidin, kita belajar bahwa kerja keras tidak selalu cepat membuahkan hasil, tetapi selalu menuntun pada tempat yang lebih terang.

Dan di sanalah ia berdiri sekarang—sebagai teladan tentang bagaimana ketekunan, kejujuran, dan keberanian bisa menumbuhkan sebuah kehidupan yang tak pernah ia bayangkan waktu kecil dulu. Sebuah hidup yang kini menjadi inspirasi bagi banyak orang. (AP)

Author: altheras_admn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *